Bystander Effect: Ketika Penyanderaan Jadi Tontonan Warga

Efek Bystander: Ketika Penyanderaan Jadi Tontonan Warga

l-andvineyards.com – Bystander Effect: Ketika Penyanderaan Jadi Tontonan Warga. Sebuah insiden penyanderaan mengejutkan terjadi di Pos Polisi (Pospol) Pejaten, Jakarta Selatan, di mana seorang anak menjadi korban dalam situasi tersebut. Saat peristiwa itu berlangsung, banyak warga dan orang yang kebetulan melintas di sekitar lokasi berhenti sejenak, namun bukan untuk memberikan bantuan melainkan untuk menyaksikan dan merekam kejadian.

Ketika warga berkumpul, perhatian mereka teralihkan dari tindakan menolong ke arah memanfaatkan momen. Penyanderaan ini seketika berubah menjadi tontonan massal, di mana banyak yang memilih mengabadikan momen berbahaya tersebut menggunakan ponsel mereka. Ironisnya, tidak ada yang berani mengambil langkah konkret untuk menolong sang anak, yang menghadapi ancaman senjata tajam. Perilaku ini memunculkan pertanyaan besar mengenai motivasi di balik tindakan hanya menjadi penonton di tengah situasi darurat.

Efek Bystander dan Akar Perilaku Menonton di Tengah Bencana

Menurut Arnold Lukito, psikolog dan Ketua Yayasan Tabula, kebiasaan masyarakat untuk hanya menonton ketika terjadi insiden atau bencana memang sudah mengakar di sebagian masyarakat. Arnold menyebut bahwa dalam psikologi, perilaku ini dikenal sebagai “bystander effect” atau efek penonton, yang mana semakin banyak orang hadir di lokasi kejadian, justru semakin sedikit yang merasa bertanggung jawab untuk bertindak.

“Bystander effect membuat banyak orang di lokasi kejadian merasa tidak perlu ikut membantu, dengan asumsi bahwa pasti ada orang lain yang akan bertindak,” jelas Arnold.

Efek Bystander: Ketika Penyanderaan Jadi Tontonan Warga

Mengapa Orang Cenderung Hanya Menonton? Faktor yang Mempengaruhi Efek Bystander

Arnold menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa bystander effect ini terjadi dalam situasi darurat seperti insiden di Pejaten. Beberapa faktor yang memengaruhi perilaku ini meliputi rasa takut, pengaruh media sosial, dan pembagian tanggung jawab.

  1. Rasa Takut dan Kebingungan
    Ketika seseorang menyaksikan kejadian berbahaya, rasa takut yang muncul membuat mereka cenderung ragu untuk bertindak. Dalam banyak kasus, mereka merasa tidak yakin harus melakukan apa atau khawatir menghadapi risiko jika terlibat langsung. Ketakutan ini semakin besar jika mereka merasa kurang siap menghadapi situasi yang melibatkan ancaman fisik atau keselamatan diri.
  2. Pengaruh Media Sosial dan Tren Rekaman
    Faktor kedua adalah dorongan untuk mengabadikan momen, terutama di era media sosial yang masif. Menurut Arnold, banyak orang saat ini terpengaruh oleh tren untuk merekam peristiwa menarik atau luar biasa tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap korban. “Sering kali, orang-orang ini menginginkan perhatian atau pengakuan di media sosial dan dari followers mereka, sehingga mereka merasa terdorong untuk merekam atau memotret insiden yang terjadi,” ujar Arnold. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial berperan besar dalam membentuk pola pikir yang mengutamakan dokumentasi peristiwa dibandingkan mengambil tindakan nyata.
  3. Diffusion of Responsibility (Pembagian Tanggung Jawab)
    Dalam situasi darurat yang disaksikan banyak orang, sering kali muncul perasaan bahwa tanggung jawab terdistribusi di antara semua saksi. Arnold menyebut konsep ini sebagai “diffusion of responsibility,” di mana setiap individu merasa bahwa ada orang lain yang akan mengambil tindakan. Akibatnya, tidak ada satu pun yang benar-benar terdorong untuk bergerak, karena semua merasa bahwa orang lain mungkin sudah melakukannya. “Karena semua orang yang ada di sana menganggap orang lain akan bertindak, mereka sendiri akhirnya tidak melakukan apa-apa,” tambah Arnold.
Lihat Juga:  PSSI Tegaskan Komitmen Keamanan Kualifikasi Piala Dunia 2026

Dampak Bystander Effect dan Tantangan Sosial yang Di hadapi

Bystander effect dalam insiden seperti ini menunjukkan sisi gelap dari perilaku sosial yang terkesan apatis. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan bahaya bagi korban tetapi juga merusak rasa kepedulian dalam komunitas. Kebiasaan menonton dan merekam tanpa bertindak membuat masyarakat kurang peka terhadap pentingnya aksi nyata dalam situasi darurat. Psikolog menilai perilaku ini sebagai tantangan sosial yang memerlukan edukasi dan peningkatan kesadaran untuk mendorong peran aktif dalam membantu sesama.

Membangun Kesadaran dan Mendorong Tindakan dalam Situasi Darurat

Mengatasi bystander effect memerlukan kesadaran kolektif dan perubahan dalam pola pikir masyarakat. Tindakan menolong seharusnya menjadi prioritas, terutama ketika nyawa seseorang berada dalam bahaya. Oleh karena itu, langkah-langkah edukasi dan penyuluhan terkait cara menghadapi situasi darurat perlu di terapkan.

Beberapa inisiatif yang dapat di lakukan antara lain:

  • Edukasi dan Simulasi Pertolongan Pertama
    Melalui program pelatihan, masyarakat dapat di bekali keterampilan dasar untuk menangani situasi darurat, sehingga tidak merasa takut atau ragu untuk bertindak. Simulasi pertolongan pertama yang melibatkan warga umum juga bisa menjadi cara efektif untuk membiasakan respons cepat dalam menghadapi bencana atau insiden mendesak.
  • Kampanye Sosial yang Mengedepankan Tindakan Nyata
    Kampanye yang mengajak masyarakat untuk mengutamakan tindakan nyata di bandingkan sekadar merekam dapat membantu mengubah pola pikir. Misalnya, kampanye “Ayo Bertindak, Jangan Hanya Menonton” dapat mengingatkan pentingnya aksi daripada sekadar dokumentasi.
  • Pemanfaatan Media Sosial untuk Kebaikan
    Alih-alih menggunakannya untuk mempublikasikan rekaman insiden, media sosial bisa di manfaatkan untuk mengedukasi orang lain tentang pentingnya tindakan dalam situasi darurat. Membagikan konten-konten yang menginspirasi orang untuk bertindak juga dapat membantu mengurangi efek bystander.
Lihat Juga:  Urban Farming: Program Stroberi Diluncurkan di Semarang

Kesimpulan

Insiden penyanderaan di Pejaten yang di saksikan banyak warga namun tanpa tindakan nyata adalah contoh jelas dari bystander effect. Kejadian ini mengingatkan kita tentang pentingnya mengutamakan tindakan langsung daripada sekadar menonton atau merekam. Faktor-faktor seperti rasa takut, pengaruh media sosial, dan pembagian tanggung jawab turut memperparah fenomena ini.

Dengan meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari hanya menjadi penonton, di harapkan masyarakat dapat bergerak ke arah yang lebih proaktif dalam menghadapi situasi darurat. Setiap individu memiliki peran dalam menjaga keamanan dan membantu sesama, dan dengan mengatasi bystander effect, kita bisa membangun lingkungan yang lebih peduli dan responsif terhadap kebutuhan orang lain dalam keadaan genting.